Kamis, Oktober 30, 2008

Media di Bangka Belitung (Sudah) Banci?

Pepi 25 tahun, Senin malam,27 Oktober 2008, tak menyangka akibat menyapa seorang anggota brimob teman Robin tetangga kosnya, membuat si anggota brimob tersinggung dan menantang Pepi duel. Lalau terjadilah perang mulut lalau terjadilah perkelahian. Tak berhenti disampai di sana. Setelah dilerai warga, dan merasa tak puas oknum brimob tersebut, lalu menagajak 30 orang temannya sesama anggota brimob menghajar Pepi hingga babak belur. Setelah puas dan mengancam jangan sampai Pepi melaporkan kejadian ini kepihak atasan mereka, 30 orang oknum tersebut meninggalkan Pepi dalam keadaan babak belur.
Hingga saat ini tak ada satu pun media harian di Bangka Belitung yang menurunkan laporannya. Bahkan menurut keterangan keluarga korban, sudah beberap kali ia mendatangi kantor redaksi beberap media lokal tersebut untuk meminta agar persoalan yang menimpa korban dieksposTapi selalu saja, pihak media beralasan kalau diberitakan mereka takut keselamatan korban tak terjamin. Dan bukan hanya itu, pihak media pun menurut keterangan kelurag korban tersbut takut kalu mereka menjadi sasaran amuk anggota birmob tersebut. Padahal, sehari setelah kejadian banyak media baik cetak maupun elektronik (Nasional) yang mewanwacai korban di RSBT (Rumah Sakit Bakti Timah), Ruang Rajawali isolasi 3. Kini Pepi masih terbaring di rumah sakit. Untuk berbicara pun ia kesulitan. Selain hampir sekujur tubuhnya babak belur. Secara
psikologis ia pun tertekan. Media yang diharapkan dapat membantu dia mendapatkan keadilan, tak meberikan respon. Kini keluarga korban hanya berharap adanya keadilan atas peristiwa
yang menimpa korban. Menurut Pepi ia hanya menyapa tamu tetangganya tersebut. Tapi yang disapa salah sangka, dikiranya menantang

Sudah lama rasanya tidak menulis tentang di luar topik ekonomi dan olahraga. Ini membuat saya seolah-olah terpisah dari dunia yang sebenarnya. Ini juga membuat tinitan hati terasa beku dan terutup dengan dunia luar. Tirani yang seolah erat menjerat membuat saya memang nyaris tak punya sekedar waktu untuk ngobrol dengan diri saya sendiri. Sebuah keheranan mungkin, tapi itulah yang terjadi. Sampai sebuah email dari teman langsung membidik ujung hati saya, dan nyaris membuat saya tak percaya, karena di TKP banyak sekali teman saya yang notabene masih satu grup dengan saya. Sebuah pencorengan idealisme yang hanya berkutat pada materi membuat hati saya tak tenang. Sama seperti saya di Batam, ulah para oknum wartawan membuat saya agak terpinggirkan di tengah moralitas dan idealisme mereka sungguh dipertanyakan. Mereka berlabel PWI Reformasi dan AJI, namun sikap dan prilaku mereka masih menunjukkan lembaga pers yang sangat amat primitif. Norma munafik pun masih melekat pada diri mereka. Amplop, minta jatah uang sampai hanya bermanis di depan para pejabat hanya untuk memeroleh segelintir proyek fiktif menjadikan saya terasa muak. Mau kemana dan diapain, jelas saya pun bingung karena mereka semua teman-teman saya, teman ngobrol, teman ngopi smapai teman main Playstation, tentu di luar kedinasan kita sebagai seorang pemburu berita.
Na, kini persaan dan peristiwa serupa tengah terjadi di Bangka Belitung. Email teman saya menyebutkan kalau sikap dan prilaku teman-teman media di sana sudah sangat keterlaluan. Mereka seolah sudah dikebiri oleh kekuasaan, bahkan sudah beralih menjadi banci. Sebuah pernyataan yang masih bisa digugat, karena belum tentu selama ini lembaga atau institusi pers di sana baik itu koran, majalah ataupun lembaga profesi, sudah benar-benar menjadi pria sejati. kalau belum menjadi pria sejati, berarti bukan menjadi banci dong sekarang. lalu apa?mungkin lebih tepat dikaruniai 'gelar' pengecut!.
Terasa keras?tidak juga, karena pasti lebih terasa menyedihkan bagi sosok korban. Lalu dimana peran teman-teman yang menyatakan diri mereka idealis?. Nyaris tak ada yang bisa menjawab, karena memang alasan mereka tetap saja klise: keselamatan kantor dan keselamatan wartawan itu sendiri. Sungguh memuakkan padahal jelas-jelas sudah ada aturan perundangan yang menyelaraskan semua itu. Bodoh, dungu atau memang pura-pura tak mengerti?kalau memang itu yang terjadi, berarti sistem sumber daya manusi di tempat mereka bekerja benar-benar parah, bahkan sangat parah.
Ketakutan melawan tindakan represif aparat jelas bukan menjadi alasan utama yang harus dikedepankan. Kawan, saat memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik, jelas analisa pertama yang keluar adalah resiko yang harus ditanggung tatkala berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Tak habis pikir buat saya jika teman-teman di Bangka Belitung tak bisa bergerak. Maslaah utama bukan ekses dari pemberitaan itu, tapi hak dari masyarakat dan konsumenlah yang seharusnya mereka pertimbangkan. Bahkan kalau masyarakat dan konsumen bisa jeli, mereka pun bisa menuntut kalangan pekerja pers di sana, kenapa berita penting seperti itu tak keluar?, mungkin iklim kapitalis benar-benar sudah merangsek ke setiap duri hati mereka.
'Kembali ke topik awal. Tindakan represif aparat memang sangat disayangkan. Analisanya sederhana, kenapa mereka bisa bertindak seperti itu terhadap rakyat biasa yang notabene adalah pembayar gaji aparat pemerintah?seharusnya justru dialah yang harus mengayomi bukan lantas menganiaya seenaknya sendiri, apalagi sampai membawa satu pleton seperti itu. Sungguh memalukan dan tentunya ini makin menunjukkan kalau pendidikan di tingkat aparat pemerintah benar-benar bobrok!!!. lalu kemana dana triliunan rupiah yang dialokasikan untuk mendidik moral aparat bangsa itu?sepertinya pertanyaan seperti itu masuk dalam jajaran retorika belaka.
Kenapa mesti takut melawan aparat?apakah karena mereka banyak kawan, atau karena mereka selalu menenteng senjata, atau karena mereka memiliki atasa yang siap setiap saat untuk menjebloskan kita ke penjara?sungguh menyesakkan jika alasan seperti menjadi garda depan untuk mengingkari sumpah menjadi pewarta.
Sungguh aneh....benarkah teman-teman di daerah sudah seperti orang banci?hanya mereka sendiri yang tahu dan bisa merasakannya....

Sabtu, Oktober 25, 2008

20 Bintang Muda Terkaya

Masih muda tapi sudah jadi milyuner. Dari daftar 20 superstar terkaya yang usia di bawah 25 tahun, empat yang teratas berprofesi atlet. LeBron James dan Maria Sharapova raja dan ratunya.
Berdasarkan laporan majalah Forbes, James tercatat sebagai selebriti muda berpenghasilan tertinggi. Kekayaan pebasket NBA itu, termasuk yang dihasilkannya sebagai bintang iklan, hak royalti, serta belum dipotong pajak, ditaksir mencapai US$ 27 juta atau sekitar Rp 251 miliar.
James, yang umurnya akan genap 23 tahun pada 30 Desember nanti, terdongkrak penghasilannya berkat kontrak barunya dengan Cleveland Cavaliers yang bernilai US$ 60 juta. Itu berarti di musim pertama dari kontrak baru itu ia digaji US$ 13 juta. Adapun beberapa produk yang memakai figurnya sebagai model adalah Nike, Coca-Cola, dan Upper Deck.
Di bawah James alias di peringkat dua adalah bintang NFL dari klub New Orleans Saints, Reggie Bush. Pemuda berusia 22 tahun itu diperkirakan memiliki kekayaan sebesar US$ 24 juta (Rp 223 miliar).
Posisi ketiga diduduki Sharapova, yang berarti ia adalah selebriti wanita muda paling kaya dalam daftar tersebut. Penghasilannya terpaut 1 juta dolar dari Bush. Dari US$ 23 juta, pemasukan Sharapova dari memenangi banyak turnamen "hanya" US$ 3,8 juta. Jadi, kebanyakan atlet Rusia berusia 20 tahun itu menjadi sangat kaya karena "side job"-nya sebagai bintang iklan.
Di peringkat keempat tercantum nama Michelle Wie. Dia adalah bintang golf wanita asal Hawaii, yang dalam satu tahun terakhir mampu meraup income US$ 19 juta (Rp 176 miliar). Mau tahu berapa umurnya? Baru 19 tahun.
Setelah empat urutan teratas dari kalangan atlet, berikutnya baru muncul selebriti-selebriti dari dunia akting dan tarik suara seperti si kembar Mary-Kate dan Ashley Olsen, Daniel "Harry Potter" Radcliffe, Hillary Duff, dan penyanyi Avril Lavigne. Data ini adalah perhitungan dari Juni 2006 hingga Juni 2007.

Daftar 20 selebritis terkaya di bawah 25 tahun:
1. LeBron James, 22 th, $ 27 juta
2. Reggie Bush, 22 th, $24 juta
3. Maria Sharapova,20 th, $23 juta
4. Michelle Wie, 18 th, $19 juta
5. Mary-Kate & Ashley Olsen, 21 th, $17 juta
6. Daniel Radcliffe, 18 th, $15 juta
7. Hilary Duff, 20 th, $12 juta
8. Avril Lavigne, 23 th, $12 juta
9. Carmelo Anthony, 23 th, $10 juta
10. Keira Knightley, 22 th, $9 juta
11. Carrie Underwood, 24 th, $7 juta
12. Scarlett Johansson, 23 th, $5 juta
13. Mischa Barton, 21 th, $4,5 juta
14. Dakota Fanning, 13 th, $4 juta
15. Emma Watson, 19 th, $4 juta
16. Rupert Grint, 19 th, $4 juta
17. Miley Cyrus, 15 th, $3,5 juta
18. Lindsay Lohan, 21 th, $3,5 juta
19. Mandy Moore, 23 th, $3,5 juta
20. Frankie Muniz, 22 th, $3 juta

Oprah named most powerful celebrity again

Talk show host Oprah Winfrey is the world's most powerful celebrity for the second straight year and for the fifth time ever, according to the 2008 Forbes Celebrity 100 Power List released on Wednesday. The annual list also included two couples among its top 10. Actress Angelina Jolie came in at No. 3 and her partner Brad Pitt nabbed No. 10, while music mogul newlyweds, Beyonce Knowles and Jay-Z were fourth and seventh.
Golfer Tiger Woods remained No. 2 and soccer player David Beckham was No. 5, while actor Johnny Depp took sixth. Music group The Police nabbed No. 8 after reuniting for a successful world tour and British author J.K. Rowling was No. 9 after the release of the seventh and final Harry Potter book.
"It's not surprising that Oprah Winfrey and Tiger Woods remain at the top this year -- they're certainly some of the biggest earners," said Matthew Miller of Forbes magazine. The rankings give the most weight to earnings over the past year but also factors in such things as Internet presence, press clippings, magazine covers and mentions on TV and radio. During the past year Winfrey made $275 million, Woods, $115 million, Knowles $80 million, Beckham $50 million, Depp $72 million, Jay-Z $82 million, and The Police $115 million.
While Jolie's earnings of $14 million and Pitt's salary of $20 million pale in comparison, the popularity of the couple, who have four children and twins on the way, and their constant presence in magazines saw their power soar. "Had (Jolie) made a couple of millions dollars more she probably would have been close to topping the list because the number of magazine covers that she was on, the number of stories she was mentioned in, far surpassed anyone else on the list," Miller said.
And it was Beckham's move to Los Angeles with former Spice Girl wife Victoria and their three sons in a blaze of pulicity that helped propel him into the top 10 for the first time. In contrast, Rowling earned $300 million in the past 12 months, more than Winfrey, but is a reluctant celebrity.
The 2008 top 100 is made up of 20 film actors, 20 athletes, 10 musicians, 10 talk show hosts, 10 TV actors, five "tween" stars, five directors/producers, five celebrity personalities, four authors, four hip-hop impresarios, four chefs and three models.
The "tween" category, a marketing term that usually refers to an audience ages 9 to 12, is new, Forbes said, with "Hannah Montana" star Miley Cyrus making her debut in the top 100 at No. 35 "following a sold-out concert tour, a hit 3-D movie, and a controversial photo shoot that had the press buzzing." Among those dropping from the list are Tom Hanks, Jessica Alba, Hayden Panettiere, Adam Sandler and Scarlett Johansson, The Rolling Stones, Elton John and Jessica Simpson.

Daftar Selebritis Paling Berpengaruh di Dunia

Nama Bayaran (juta dolar AS)
1 Oprah Winfrey 275
2 Tiger Woods 115
3 Angelina Jolie 14
4 Beyonce Knowles 80
5 David Beckham 50
6 Johnny Depp 72
7 Jay-Z 82
8 The Police 115
9 J.K. Rowling 300
10 Brad Pitt 20
11 Will Smith 80
12 Justin Timberlake 44
13 Steven Spielberg 130
14 Cameron Diaz 50
15 David Letterman 45
16 LeBron James 38
17 Jennifer Aniston 27
18 Michael Jordan 45
19 Kobe Bryant 39
20 Phil Mickelson 45
21 Madonna 40
22 Simon Cowell 72
23 Roger Federer 35
24 Alex Rodriguez 34
25 Jerry Seinfeld 85
26 50 Cent 150
27 Kanye West 30
28 Celine Dion 40
29 Bruce Willis 41
30 Dr. Phil McGraw 40
31 Tom Cruise 13
32 Jay Leno 32
33 Sean "Diddy" Combs 35
34 Stephen King 45
35 Miley Cyrus 25
36 Kimi Raikkonen 44
37 Jeff Gordon 32
38 Ronaldinho 37
39 Shaquille O'Neal 32
40 Judge Judy Sheindlin 45
41 Howard Stern 70
42 Tyler Perry 125
43 Fernando Alonso 33
44 Leonardo DiCaprio 45
45 Donald Trump 30
46 George Lucas 50
47 Keira Knightley 32
48 Jerry Bruckheimer 145
49 Nicolas Cage 38
50 Spice Girls 21
51 Matt Damon 21
52 Dale Earnhardt Jr. 31
53 Bon Jovi 25
54 Jennifer Lopez 7
55 Ben Stiller 40
56 Kevin Garnett 29
57 Nicole Kidman 13
58 James Patterson 50
59 Rush Limbaugh 33
60 Reese Witherspoon 25
61 Maria Sharapova 26
62 Ryan Seacrest 31
63 Gwen Stefani 27
64 Daniel Radcliffe 25
65 Alicia Keys 15
66 Gisele Bundchen 35
67 Gwyneth Paltrow 25
68 Tyra Banks 23
69 Serena Williams 14
70 Eva Longoria Parker 9
71 Ellen DeGeneres 20
72 Sarah Jessica Parker 18
73 Katherine Heigl 13
74 Regis Philbin 21
75 Tom Clancy 35
76 Rachael Ray 18
77 Cate Blanchett 12
78 Heidi Klum 14
79 Carrie Underwood 9
80 Jon Stewart 14
81 Justine Henin 12.5
82 Judd Apatow 27
83 Kate Moss 7.5
84 Patrick Dempsey 13.5
85 Charlie Sheen 20
86 Drew Carey 12
87 Steve Carell 5
88 Lorena Ochoa 10
89 Jonas Brothers 12
90 Howie Mandel 14
91 Wolfgang Puck 16
92 Zac Efron 5.8
93 Annika Sorenstam 11
94 Ashley Tisdale 5.5
95 Gordon Ramsay 7.5
96 Jennifer Love Hewitt 5
97 Lauren Conrad 1.5
98 Vanessa Williams 4.5
99 Tina Fey 4.6
100 Paula Deen 4.5

Dith Pran "The Killing Field" Meninggal Dunia

Gak sengaja aku barusan menonton sebuah film yang ternyata sangat legenderasi, maklum saat film itu dirilis aku masih berusia sangat hijau. Yup, The Killing Fields membuatku mendadak tergugah dan mengernyitkan kening, betapa tugas seorang jurnalis begitu besar pengaruhnya terhadap sebuah perubahan peradaban dan nilai sejarah. Betapa mereka benar-benar berjuang menjadi seorang yang sangat idealis, dan meninggalkan sebuah kehidupan yang sebenarnya bisa membuat mereka nyaman. Sebuah nilai perjuangan yang membuat aku tiba-tiba saja takluk dan tersentak kalbun, tak menyana arti penting sebuah pengorbanan secara umum. Sesuatu yang sedikit sekali dilakukan di negeri ini. Berikut beberapa tulisan yang kucari dari pelbagai koran dan situs berita tentang nama Dirt Pan dan sosok Schanberg.

THE
Killing Fields, Anda pernah membaca novel atau menonton filmnya? Kisah tentang ladang pembantaian itu adalah kisah nyata Dith Pran yang berjuang hidup dan lolos dari kekejaman rezim Pol Pot. Dith Pran adalah orang yang mencetuskan terminologi The Killing Fields. Ia telah berhasil mengatasi keganasan tentara Khmer Merah, tapi tidak untuk kanker pankreas. Minggu (30/3), Dith menghembuskan nafas terakhirnya di RS New Jersey, Amerika Serikat.
Dith Pran lahir di Siem Reap 27 September 1942. Nama dirinya adalah Pran. Dith adalah nama keluarga. Dalam tradisi Asia, nama keluarga ditaruh di depan. Dith fasih berbahasa Prancis dan Inggris. Di Kamboja ia bekerja sebaga penterjemah untuk perwakilan resmi Amerika. Tahun 1970, ketika kekuasaan Raja Norodom Sihanouk jatuh dan tentara Kamboja berperang melawan tentara merah Vietnam yang komunis, Dith bekerja sebagai penterjemah untuk wartawan Times yang bertugas di Phnom Penh, Sydney Schanberg. Dith menjadi partner Schanberg meliput konflik di Kamboja.
Saat kekuasaan Amerika menyurut di Kamboja dan Vietnam Schanberg pulang ke negaranya. Dith ingin ikut meninggalkan Pnom Penh, ikut Schanberg ke Amerika. Tapi, gagal. Dith terjebak di dalam kota bersama ribuan warga kota Phnom Penh.
Saat itu Pol Pot membunuh semua tokon intelektual Kamboja. Dith bertahan hidup karena menyamar sebagai petani tidak berpendidikan. Ia masuk kamp kerja paksa dan mengalami berbagai macam penyiksaan. Empat setengah tahun Dith menjadi bagian dari masyarakat baru yang coba dibangun Pol Pot di atas darah masyarakat Kamboja.
Dalam sebuah kesempatan ia berhasil melarikan diri. Ia berjalan sejauh 40 mil untuk mencapai perbatasan Thailand. Perjuangan yang sangat dramatis karena ia harus menghindar dari patroli tentara khmer merah dan orang-orang vietnam. Akhirnya ia berhasil mencapai perbatasan Thailand dan menghubungi sahabatnya Schanberg. Mereka akhirnya bertemu kembali dalam suasana yang sangat mengharukan. Dith berhasil masuk Amerika dan menjadi warganegara adi daya itu. Ia merintis karir sebagai wartawan foto.
Tahun 1980 Schanberg menuliskan kisah Dith dalam buku The Death and Life of Dith Pran yang menjadi cikal bakal film dan novel The Killing Fields. Tahun 1984 film The Killing Fields meraih tiga Ocar. Sosok Dith Pran diperankan Haing S. Ngor, orang Kamboja yang juga berhasil melarikan diri dari kekejaman Pol Pot. Haing bahkan berhasil meraih Oscar sebagai pemeran pembantu terbaik. Sayang, ia tewas mengenaskan, ditembak perampok tahun 1996.
Dith adalah pejuang kehidupan sejati. Setelah berhasil lolos dari keganasan Pol Pot, ia tidak bisa menghindari keganasan kanker. Sebelum kematiannya, ia sadar betul tidak mungkin lagi baginya hidup lebih lama. "Saya ingin meyelamatkan hidup saya, tapi masyarakat Kaboja percaya bahwa tubuh kita hanyalah pinjaman. Tubuh adalah rumah bagi jiwa, dan jika rumah ini sudah rapuh, itulah saatnya pergi meninggalkan rumah," katanya.

The Killing Fields, Memoar Dith Pran

Sosoknya menghadirkan sebuah kategori khusus: Jurnalistik kepahlawanan.
Inilah neraka hidup itu. Dith Pran menyaksikan sendiri negerinya berubah di tengah cengkereman rezim Khmer Merah. Demi bertahan hidup, dia berpegang pada sebuah kredo: Jangan bergerak kecuali ada 50:50 kesempatan agar tidak terbunuh.Di tengah situasi genting, dia melakukan proses evakuasi istri dan anak-anaknya. Namun, Dith sendiri bersikeras tetap tinggal di Kamboja bersama Sydney H Schanberg, seorang koresponden The New York Times yang ditugaskan ke Asia Tenggara, agar tetap dapat meliput seluruh peristiwa. Dith yakin negerinya bisa selamat jika negara lain mengetahui tragedi yang terjadi dan merespons.Dith pun menjadi mitra jurnalistik Schanberg. Dia membantu menerjemahkan, mencatat, memotret, dan menolong Schanberg di tengah carut marut Kamboja. Ketika Phnom Penh jatuh pada 1975, segalanya berubah. Dith harus menyelamatkan Schanberg dan jurnalis Barat lain dengan cara membujuk para tentara yang menangkap mereka.Sayang, di tengah kondisi kalut, Dith harus menerima kenyataan dikirim ke kawasan terpencil untuk bergabung dengan jutaan orang lain yang dipekerjakan sebagai budak. Schanberg terusir dari negeri ini dan Dith menjadi tawanan Khmer Merah. Beberapa tahun berselang, Schanberg menuliskan kisah Dith itu dalam sebuah artikel berjudul The Death and Life of Dith Pran (Kematian dan Kehidupan Dith Pran) di The New York Times.Kisah ini lantas diadaptasi menjadi film The Killing Fields (1984). Film yang membuka mata dunia tentang pembantaian di Kamboja. Film yang membuat Haing S Ngor, pemeran Dith Pran, menyabet gelar pembantu pria terbaik Academy Award satu di antara tiga Oscar.Dith Pran lahir pada 23 September 1942 di Siem Reap, Kamboja, di sebuah kota provinsi tak jauh dari kuil kuno di Angkor Wat. Dia belajar bahasa Prancis di sekolah dan menekuni bahasa Inggris secara otodidak. Berkat kemampuan berbahasa itu, Dith sempat menjadi penerjemah badan militer Amerika.Di awal 1970-an, ketika kekisruhan di Vietnam meluas dan Kamboja jatuh dalam perang sipil, Khmer Merah menjadi lebih kuat. Di saat itu, Dith sudah menjadi penerjemah para jurnalis asing. Ketika mendampingi Schanberg, dia belajar memotret. Saat Khmer Merah berkuasa, Dith menjadi bagian dari sebuah eksperimen sosial yang mengerikan berupa pengusiran ratusan ribu orang dari kota dan penindasan kaum terdidik untuk mewujudkan Kamboja sebagai negara agraris.Demi menghindari eksekusi, Dith memilih untuk menyembunyikan identitasnya. Dia menjadi sopir taksi, membuang hartanya, dan berpakaian seperti petani. Lebih dari empat tahun, dia melakukan pekerjaan kasar. Dith merasakan tahun-tahun yang penuh pukulan, kerja keras tanpa batas, dan makanan yang hanya berupa satu sendok makan nasi setiap hari. Hingga November 1978, Vietnam menginvasi Kamboja dan menjungkalkan akar kuat Khmer Merah.
Dith pun kembali ke kampung halamannya di Siem Reap. Di sanalah pemandangan mengenaskan itu terhampar. Sekitar 50 anggota keluarganya terbunuh, sumur-sumur terisi penuh dengan tengkorak dan mayat. Puncaknya adalah pada 3 Oktober 1979, Dith berhasil melarikan diri melewati perbatasan Thailand.

Setelah tahun demi tahun berlalu tanpa mendengar kabar dari Dith, Schanberg mendengar kabar menggembirakan pelarian Dith. Dia sendiri telah mendapat Pulitzer berkat reportasenya di Kamboja. Schanberg menerimanya atas nama Dith juga.

Schanberg menerima kedatangan sang sahabat dengan tangan terbuka. Di San Francisco, AS, Dith bertemu dengan istri dan keempat anaknya. Dith pun memulai hidup baru dengan pindah ke New York. Pada 1980, dia menjadi fotografer The New York Times. Hasil bidikannya amat imajinatif. Ketika merekam kematian seorang tokoh masyarakat yang terbunuh, Dith lebih suka memotret para wajah duka para pelayat ketimbang membidik peti mayat. ''Kita harus menjadi sebuah nanas yang memiliki ratusan mata,'' ujar Dith mengungkap teori foto jurnalistiknya. Di luar kerja jurnalistik, Dith tetap berteriak lantang menentang pembantaian Kamboja.

Akibat kanker pankreas yang menggerogotinya, Dith Pran mengembuskan napas terakhir di usia 65 tahun. Menjelang kematiannya, Dith berusaha membentuk sebuah organisasi baru untuk membantu Kamboja. Pada 1997, dia menerbitkan sebuah buku berisi kumpulan esai warga Kamboja yang menjadi saksi selama bertahun-tahun menghadapi teror rezim kejam. Sepanjang hidupnya, Dith berdedikasi untuk menghentikan segala bentuk pembantaian di dunia.

Bill Keller, editor eksekutif The Times, mengenang Dith. ''Untuk kita semua yang bekerja sebagai wartawan asing di kawasan konflik, Dith Pran mengingatkan kita pada satu kategori jurnalistik kepahlawanan. Dialah mitra lokal, penerjemah, sopir, perantara, yang tahu segala simpul, yang membuat kerja kita mudah, seorang teman yang menyelamatkan hidup, berbagi sedikit kebahagiaan, dan menghadapi semua bahaya.'' Dalam sebuah wawancara terakhir, Dith sempat mengungkap keinginan agar ada orang yang mau melanjutkan kerjanya. ''Bila ini terjadi, arwahku akan tenang.' nyt/neh

Arti Pertalian Menuju Sebuah Api Nyata

sebuah renungan terhadap cermin roh
by noenx's
Dibuka dengan sebuah cerita apik yang semoga langsung bisa menjadi sumber inspirasi pemaknaan tersendiri, tentunya sesuai dengan cermin dan kacamata masing-masing. Keterpangaruhan bakal menjadi sebuah jembatan tipis yang hanya akan membawa Anda ke sebuah jurang dalam. Jatuh bebas tanpa ada sisi pendaratan yang sesuai dengan keinginan. Jadi realistislah pada sebuah jalan, meskipun itu tetap menjadi pilihan terakhir dari sebuah usaha dan pengorbanan.
“Dua saudara sepupu kerap bermain bersama sebagai anak-anak dan mereka saling menyukai satu sama lain. Salah satunya seorang gadis bernama Seijo dan yang lainnya anak laku-laki bernama Ochu. Setelah tumbuh besar, mereka jatuh cinta satu sama lain. Dan mereka menjadi patah hati tatkala ayah Seijo memutuskan untuk memilih pria lain untuk calon suami putrinya.
Seijo dan Ochu memutuskan untuk melarikan diri bersama dan pergi ke kota lain untuk menikah. Setelah beberapa tahun Seijo menyampaikan ke Ochu jika ia merasa sangat kehilangan orangtuanya. Demikian pula yang terjadi pada Ochu. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang sejenak ke kampung mereka untuk melihat kondisi kedua orang tua mereka.

12345678901234567890123456789012345678901234567890
12345678901234567890123456789012345678901234567890

Tatkala mereka tiba di rumah Seijo, Ochu masuk terlebih dulu. Ia menuturkan apa yang telah terjadi dan mohon pengampunan dari ayah Seijo. Orangtua Seijo sangat terperanjat. Ia berkata bahwa itu tak mungkin terjadi. Sebab sejak Ochu meninggalkan kota ini, Seijo putrinya jatuh sakit dan rebah selama bertahun-tahun di tempat tidur. Ochu membantah kata-kata mertuanya kalau itu tidak betul dan juga tidak masuk akal karena mereka selalu bersama setiap saat dalam pelarian. Kemudian ia menyarankan kepada ayah Seijo untuk datang ke kapal, sebab di sana telah menanti putri dan anak cucunya. Pada saat itu Seijo yang rindu keluarganya dan menanti di kapal bangkit berjalan menuju rumah.
Sementara Seijo yang jatuh sakit selama bertahun-tahun kini berdiri berjalan menyongsong sosoknya sendiri. Mereka bertemu di tengah padang rumput dan kedua sosok itu bertemu lagi. Dan Seijo yang terbelah dua kini menjadi utuh kembali.”
Sebuah alunan pendek yang membuat pikiran kita harus melayang sejenak melupakan sisi ekonomi menuju sebuah pencapaian cinta sejati. Bukan artian keromantisan semata, namun jejak langkah menuju ke sana memiliki tautan tersendiri yang tak mungkin terlupakan begitu saja.
Sisi gelap pada manusia tentu memiliki naluri alamiah untuk mengajak ke sebuah tindakan yang tidak disukai naluri itu sendiri sebenarnya. Namun kadar kekuatannya yang luar biasa membuat semuanya berantakan. Jika benteng itu tak kuat, jelas kehancuran berada di depan mata, yang sesungguhnya tidak perlu terjadi.
Lalu apa koherensinya ataukah hanya sebuah kontingensi belaka?tentu sebuah angka dan fakta tidak sepenuhnya bisa menjelaskan itu semua. Yang jelas dari dalam hatilah bisa mencairkan dan menjabarkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. Sebuah perenungan juga tidak cukup waktu untuk menyapa semuanya menjadi sebuah ketenangan. Sebaliknya, sebuah anggapan juga belum tentu bertentangan dengan kebijakan, hanya naluri sehat dan terlatihlah yang selalu berbuat menjawab dengan teratur dan penuh makna. Anda ingin ikut yang mana?sepertinya tidak pernah memilih saja jika belum memiliki kaki-kaki yang kuat layaknya dua tingkat di atas cakar ayam....(foto.www.google.com)

Arti Penting Vitcabamba dan Machu Picchu

By noenx’s
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
BAGI orang yang mungkin tidak pernah belajar sejarah ataupun ilmu arkeologis, kata Machu Picchu mungkin terasa sangat asing di telinga. Bagaimana tidak, istilah tersebut memang sempat terkubur selama ratusan tahun dan tidak semua oarang mampu mengingatnya karena terbatasnya akses untuk ke sana.
Namun mungkin ingatan orang atau pengetahuan orang akan sedikit berubaha tatkala menyebut istilah Vitcabamba. Meski masih agak aneh, namun tetap saja kata yang merujuk pada sebuah tempat itu lebih familiar dan mudah untuk dicari di dunia maya dari pada unsur yang pertama, sebuah literatur yang masih sulit untuk digapai.
Saat menghubungkan antara Machu Picchu dan Vitcabamba, tentu orang bakal lebih menaikkan alisnya, baik dikatupkan tepat di atas tulang hidung ataupun justru menaikkan satu alis matanya. Yang jelas, kedua unsur tersebut memang memiliki kedekatan sangat erat, layaknya kisah tokoh Noah dan Allie di film the Notebook ataupun pameo Romeo and Juliet yang sangat terkenal itu.
Di antara gabungan dua kata tersebut, jika Anda belum juga ingat, tentu akan menyembul sebuah bagian kerucut bernama Inca. Jika tidak juga tahu, sepertinya Anda harus segera mem-browsingnya di search engine Yahoo! Ataupun Altavista sekalipun.
Yup, sejarah Inca memang sangat luar biasa. Bahkan menjadi bagian dari dunia yang tak pernah terpisahkan. Bahkan kalau diingat, saat kurikulum 1994 diberlakukan bagi sistem pendidikan di Indonesia, Inca mendapat prioritas terbesar dalam pelajaran Sejarah.
Sekedar flash back, Peru, untuk berabad-abad merupakan tempat peradaban tertinggi Andes. Di sinilah raja matahari Inca menguasai kerajaan mahabesar terbentang 2000 mil sepanjang pegunungan Amerika Selatan.
Pada tahun 1532 kerajaan tersebut dirusak dengan tragis oleh bangsa Spanyol. Sewaktu dunia mereka diremah-remah, bangsawan Inca mengasingkan diri ke hutan yang tersembunyi di pegunungan yang tak dapat dicapai.
Di tempat itulah mereka bertahan untuk tetap menghidupkan budaya kota terakhir Inca: Vilcabamba. Beruntung ada seseorang yang memiliki kemauan besar untuk mencari kunci dari ketersembunyian kerajaan terbesar yang pernah ada di muka bumi ini.
Berlatar belakang pencarian Vitcabamba tahun 1911, seorang pelajar muda Hiram Bingham mendapati satu dari penemuan arkeologis ternama di abad ini yakni reruntuhan terindah Machu Picchu yang pada akhirnya mampu menyingkap keagungan kebudayaan dan pesona Inca ke seluruh dunia. Jika Anda belum mengerti juga berarti memang harus rajin-rajin untuk berselancar guna melihat pelbagia panorama indah masa lalu, yang kini bahkan beberapa di antaranya telah lenyap.
Sebenarnya tidak ada koherensi apapun latar di atas dengan penuturan kali ini. Namun satu catatan penting adalah sebesar apapun sebuah kekuasaan, sehebat apapun orang pada saat itu, dan segemerlap apapun dunianya saat itu, percayalah jika suatu saat nanti bakal tenggelam dan hilang untuk kemudian hanya menjadi bagian dari sejarah, itupun kalau ditemukan oleh generasi yang peduli dengan sejarah itu sendiri. Jika tidak tentu alamat nama tak terkenang, jasa tak berbekas, sejarahpun bagai asap belaka.
Bukan menjadi pesan, namun hanya sebagai ingatan jika apa yang dilakukan sekarang jelas memiliki sumbangsih besar pada saat yang akan datang. Jika tidak benar-benar berada di rel yang benar, jangan harap output dari itu semua dalam jangka waktu panjang bakal berakhir dengan rel yang baik. Pasalnya kerikil, kerusakan besi sampai pembangunan jalan mungkin saja bakal menghapuskan jejak rel yang sebenarnya akan dilewati kereta masa lalu. Akibatnya?kebingungan, hedonisme, kenangan kejayaan masa lalu dan antipati bakal menjadi bumerang tersendiri.
Apa yang tercermin dari itu jelas memiliki arti mendalam. Pernah melihat adegan dalam monolog Sarimin-nya Butet Kartarejasa?jika iya, potret kehidupan pada sisi aparat yang sepertinya itulah yang membuat tidak hanya aparat saja yang keparat, namun masyarakatnya juga bisa lebih hebat dari itu, jadi seorang bangsat. Keras dan kasar?tentu tidak untuk istilah guna menggambarkan kondisi saat ini.
Sebuah kondisi yang sangat terpuruk, lebih terpuruk dari apa yang terjadi di zaman orde baru , sebuah zaman yang dikabarkan bakal memberikan penderitaan kepada banyak orang. Namun apa realitasnya kini?catatan pertama tentu kondisi perekonomian, baik mikro maupun makro. Tidak hanya daya beli masyarakat yang rendah, tingkat ketersediaan lapangan kerja juga sangat rendah, diperparah lagi dengan laju inflasi yang terkadang membuat pemerintah panik akibat adanya gejolak alias fluktuatif harga yang tidak menentu. Pemerintah tak berdaya, rakyat menderita, pelaksana semakin berbahagia. Lho?ya jelas, karena justru terkadang aparat atau pelaksana itulah yang mensetting ini semua supaya mendapatkan keuntungan yang luar biasa di tengah terjangan penderitaan masyarakat luas. Semakin sedih tatkala harus terus melihat nilai tukar rupiah-nya Merah Putih ini tetap saja tidak pernah berdaya.
Jangankan untuk menjadi pedoman di bagian Asia Tenggara, bisa stabil dan tidak terpengaruh kondisi eksternal saja sudah menjadi prestasi yang sangat luar biasa. Namun sayang ekspektasi seperti itu tak pernah terwujud. Yang ada hanya saling cuek. Masyarakat sudah tidak punya waktu lagi untuk mengurusi hal lain di tengah balutan kemiskinan dan ketidakberdayaan mengais rejeki. Jangan lihat di daerah, di ibukota saja sudah jamak terlihat bergelimpangannya para pengemis,pengamen bahkan tukang ojek yang rela berpisah dari keluarga dan tiduran di emperan toko hanya untuk menanti esok yang juga belum tentu pasti untuk mereka. Di balik awan sana, di tempat yang tidak mungkin terjangkau mereka, semakin banyak orang yang memanfaatkan kegetiran orang lain untuk mengambil sari madu demi ecapan rasa manis diri mereka sendiri. Pemerintah yang bego, masyarakat yang bodoh, pejabat yang tak berpendidikan atau masyarakat yang tak mau sekolah?
Entahlah, yang jelas pemerintah telah membuat sebuah program nyata di level tingkat pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu berada di angka 6,02 kini berani mematok angka tujuh persen, sebuah target yang ternyata tidak begitu lama langsung dikebiri sendiri dengan merubah susunan APBN. Sebuah inkonsistensi dan penerawangan yang tak pernah berhasil, selalu berganti dan membuat bingung orang-orang di sekitarnya. Masih beginikah kinerja dan kerja para lulusan S3 Havard, Oxford, Michigan State University, UBM, UI, ITB, IPB?sungguh menyesakkan mengingat sebenarnya yang rakyat inginkan teramat sangat sederhana, mereka cukup makan, cukup uang untuk biaya anak-anak mereka sekolah dan cukup waktu untuk menentukan masa depan yang membentang. Kondisi kini?tak jauh beda dengan 1965, hanya beda dimensinya. Bagaimana pemerintah?masihkah kau tak bisa bergerak lincah?atau menunggu hujatan dari kalangan mahasiswa yang nyata-nyata ditunggangi oknum tertentu?hanya Anda yang bisa merasakan dan memilih tuan-tuan, puan-puan, cik, pakdhe, cak, mpok, akang dan abang yang ada di jajaran plat merah sana. (foto.www.google.com)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (1)

by noenx's
HASIL investigasi ini bukan bermaksud untuk menggurui, namun hanya sekedar pengharapan untuk bisa menjadi perenungan tersendiri betapa sesuatu yang sebenarnya sepele ternyata memiliki arti penting. Awalnya mereka merasa itu hanya untuk mereka dan lingkungannya, tapi jika ditarik lebih lebar lagi, aplikasi ini bisa menjadi inspirasi tersendiri. Mereka bisa, kenapa kita tidak?mulailah dari diri kita sendiri.

SELAMA ini tukang ojek bisa jadi tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat. Pekerjaannya yang hanya mengantarkan penumpang dan barang dianggap tidak memiliki fungsi dan kedudukan yang bisa berpengaruh signifikan terhadap lingkungan. Tapi ternyata jenis mata pencaharian ini juga bisa berperan lebih dalam hal tertentu, seperti halnya mensosialisasikan
Tukang ojek. Kata majemuk yang menunjukkan satu jenis mata pencaharian di tengah masyarakat yang berhubungan dengan transporasi tersebut mungkin sudah biasa di kalangan masyarakat pedesaan di Indonesia yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan. Fungsi utamanya memang hanya mengantarkan penumpang dari satu tempat ke tempat lain.
Penumpang yang memanfaatkan jasanya memang beragam dari mulai anak sekolah, PNS sampai pedagang. Di kota Tanjungpinang, sebagai ibu kota provinsi Kepulauan Riau (Kepri), fenomena tukang ojek seolah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Tak pelak 24 jam non stop tukang ojek selalu beroperasi melayani dan menemani setiap gerak langkah dinamis kehidupan malam kota Gurindam ini.
Di kota Tanjungpinang khususnya, dan di beberapa kota lainnya di Indonesia, tukang ojek sudah identik dengan jam operasi sampai malam hari dalam melayani penumpang. Namun rata-rata penumpang mereka adalah orang-orang "istimewa", yakni wanita-wanita penjaja seks yang datang dari berbagai kawasan di kota Tanjungpinang.
Bahkan tak jarang tukang ojek justru menjadi objek utama yang mengerti tentang jaringan dan tempat-tempat yang digunakan untuk kencan wanita yang dalam dunia AIDS disebut golongan resiko tinggi (resti) tersebut. Namun di sisi lain sudah tidak menjadi rahasia lagi, justru sebagian tukang ojek "menambah" penghasilannya dengan menjadi perantara dan pengantar para wanita pekerja seks (WPS).
Kota Tanjungpinang adalah satu di antara kota di provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Jumlah penduduknya berkisar 156.627 jiwa. Berdasarkan perkiraan jumlah penduduk berisiko tahun 2005/06, kota Tanjungpinang memiliki faktor resiko penularan 3 besar di provinsi Kepri, dua lainnya adalah kota Batam dan kabupaten Tanjungbalai Karimun. Jumlah populasi resiko tinggi sebesar 11.800 orang, dimana perkiraan penyebaran kasus HIV rata-rata 31,5 persen.
Data Yayasan Bentan Serumpun (YBS) menyebutkan Prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) menunjukkan peningkatan yang cukup berarti selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2003 sebesar 65 persen dan HIV sebesar 5 persen. IMS meningkat menjadi 75 persen pada tahun 2004 dan HIV menjadi 6 persen. Hal ini sebagai akibat dari prilaku pemakaian kondom secara konsisten pada kegiatan seksual berisiko yang baru mencapai 15 persen pada WPS langsung dan WPS tidak langsung.
Definisi tersendiri dari WPS langsung adalah WPS yang secara terang-terangan menampakkan dirinya sebagai pekerja seks. Biasanya tipe seperti ini bisa dilihat secara langsung di lokalisasi ataupun yang berada secara terang-terangan di pinggir-pinggir jalan ataupun di tempat-tempat tertentu seperti pujasera ataupun ruang karaoke.
Sedangkan WPS tidak langsung adalah pekerja seks yang sistematikan kerjanya cenderung lebih rapi dan tidak menampakkan secara jelas di muka umum. Jenis ini biasa digunakan untuk menyebut pekerja seks panggilan dan biasanya memiliki tarif lebih tinggi dibanding WPS langsung.
Dari kacamata dukungan data di atas telontar pertanyaan yang sangat menarik tentang bagaimana sebenarnya usaha pemerintah kota Tanjungpinang dan pihak-pihak terkait untuk mencoba mencegah penyebaran virus HIV. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (2)

by noenx's
BERAWAL dari semua medium yang digunakan mulai dari sosialisasi Dinas Kesehatan sampai seminar tentang HIV/AIDS, ternyata tukang ojek bisa menjadi sebuah jembatan momentum untuk diajak kerjasama dalam hal penerapan pencegahan penularan dan persebaran HIV dan AIDS.
Beberapa pengalaman tukang ojek bisa menjadi acuan tersendiri tentang betapa strategisnya peran tukang ojek dalam hal ini. Tidak tanggung-tanggung mereka bisa menjadi satu di antara garda depan pencegahan.
Mereka terkenal dengan keberanian untuk bergabung, bergaul dan mendekat pada komunitas golongan resiko tinggi tersebut. Seolah menjadi cermin untuk masyarakat, tukang ojek justru menjadi orang yang bisa berdiri paling dekat dengan para Wanita Pekerja Seks (WPS) dan pelanggannya.
Justru secara hemat, pengalaman mereka bergaul dengan kehidupan, komunitas dan lingkungan seperti itulah yang seharusnya memberi motivasi kepada semua pihak untuk senantiasa tidak berputus asa dalam mencegah, minimal meminimalisir, persebaran HIV yang menimbulkan AIDS tersebut.
Sudarmadi contohnya. Pria asal Semarang ini mengaku tidak masalah jika harus bergabung dan bersenda gurau dengan mereka yang mengidap HIV bahkan AIDS sekalipun. Tapi dengan kepercayaan keluarga dan ketebalan iman, ia bisa terus menjaga hubungan dan aktifitas fisik dengan penumpang tetapnya.
Lelaki berusia 45 tahun dan mangkal di gerbang lokalisasi Batu 15 kota Tanjungpinang ini mengaku sejak pertama kali menjadi tukang ojek langsung berhadapan dengan para WPS yang memang berdomisili di sekitar kawasan tersebut. Meski relatif fluktuatif, namun ia menyebut jumlah teman-temannya kini yang tergabung dalam kelompok mencapai kisaran 33 orang, meski jumlahnya terkadang bertambah akibat kedatang tukang ojek baru.
Namun kedatangan mereka, lanjut Sudarmadi, biasanya hanya temporal saja, setelah itu bisa keluar dari kelompoknya. “Memang sejak saya pertama kali ngojek, saya sering nongkrong di sini, dulu masih sepi, tapi sekarang memang sudah sangat ramai,” ujarnya membuka cerita.
Godaan di lingkungan tentu silih berganti saling berdatangan, tak heran jika Madi selalu membentengi diri dengan kualitas iman yang memang sudah ia peroleh sebelumnya. Beberapa godaan yang sempat dirasakannya antara lain karena seringnya melihat para WPS mengenakan kaos ketat yang menonjolkan tubuh ataupun penggunaan tanktop, sehingga terkadang terlintas untuk merasakan bagaimana “tidur” bersama mereka.
Begitu juga yang dialami Andi Susilo yang biasa disapa Andi. Ia mengaku di sekitar pangkalannya, meski tidak berada di kawasan lokalisasi, terdapat beberapa WPS, baik yang terkena HIV ataupun tidak.
“Jelas mereka terkadang menggoda, apalagi kalau tidak dapat pelanggan, namun sampai sekarang saya tidak tergoda dan tidak akan karena memang resikonya sangat besar dibanding kenikmatannya,” jelas lelaki asli Tanjungpinang tersebut.
Madi menyebut bersosialisasi dan hidup di sekitar WPS memang sangat variatif. Saat disinggung pernahkah berselisih dengan WPS yang tinggal di lokalisasi Batu 15 Tanjungpinang, ia menyebut kalau itu sudah menjadi pengalaman yang wajar.
Apalagi jika si WPS tidak puas dengan bayaran atau pendapatan satu malamnya, mereka pasti akan ngomel-ngomel dan biasanya ia yang kena, tapi dianggapnya hanya angin lalu saja, sesuatu yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (3)

by noenx's
INTERAKSI antara Madi dan beberapa WPS biasa ataupun ber-HIV seolah berjalan seperti biasa. Setiap hari mereka selalu berkomunikasi entah di warung, di rumahnya atau saat diantar ke suatu tempat.
Komunikasi dan interaksi tetap jalan terus, karena bagaimanapun para WPS, menurut Madi, juga terkadang membutuhkan mereka dan mereka pun membutuhkan jasa Madi dan teman-teman, jadi semuanya berjalan pada rel yang biasa.
“Pada umumnya interaksinya baik-baik saja, karena mungkin kita merasa sama-sama hidup di perantaauan,” sebut Madi, yang mengaku berbincang empat mata maupun bepergian berdua seolah sudah menjadi kebiasaan yang sudah dimengerti istri dan anak-anaknya. “Itu resiko,” imbuhnya lirih.
Lalu sebenarnya apa saja yang diobrolkan jika sedang berjalan atau saling berbincang dengan para WPS tersebut?Madi menyebut materi obrolan sangat variatif dan banyak. Namun biasanya tidak akan lepas dari kisah mereka melayani beragam tamu, ada yang kasar, halus atau bahkan membuatnya justru ketagihan dan menginginkan pria itu kembali lagi.
Ada juga yang bercerita tentang masa lalu kenapa jadi WPS, terus tentang keluarga mereka di tanah aslinya, curhat tentang kesulitan kondisi keuangan, sampai cerita kalau WPS tersebut sakit. “Kadang cerita juga menjurus ke hal-hal yang berbau porno yang membuat kita terhenyak dan ‘kena batunya’, jadi semuanya pernah kita bicarakan dari A-Z kata orang,” kata Madi.
Ia menyebut dirinya sudah terbiasa dengan tawaran untuk mencoba masuk ke dalam “permainan” para WPS tersebut, namun selalu ditampiknya. Bahkan sejak dirinya mangkal di tempat itu. Namun ia mempunyai trik jitu untuk menolak secara halus keinginan dan tawaran para WPS, seperti alasan ada kepentingan mendadak, ditunggu penumpang yang sudah memesannya terlebih dulu dan lain-lain.
Pengalaman serupa juga dirasakan Andi. Ia mengaku WPS di daerahnya hanya ada di beberapa rumah atau tempat kos saja, itupun WPS yang panggilan, tidak ada yang melayani di tempat kos. Namun tetap saja beragam interaksi dengan mereka mampu menjadi “ujian” tersendiri bagi Andi yang memang relatif masih memiliki gejolak melakukan hubungan seksual.
Ia mengaku saling berbincang panjang lebar hanya sesekali saja, tapi kalau malam hari biasanya memang nongkrong atau main saja ke tempat mereka sambil menunggu panggilan buat mereka.
Mengenai pengenalan terhadap WPS sebagai hasil interaksi, Madi mengaku tidak tahu semua secara detail. Namun jika hanya muka-muka yang baisa ada di lingkungan sekitarnya pasti mengenal. Karena memang sudah sering bertemu dan berinteraksi dengan masing-masing blok hunian. “Jadi kita hafal, kalau tidak nama ya cukup wajah saja,” sebut Madi.
Selain WPS itu sendiri, Madi dan kawan-kawan selalu memperhatikan dan memberi tanda terhadap tamu-tamu yang ada. Pasalnya tidak hanya sebagai tukang ojek saja, namun tugasnya dan teman-teman berfungsi ganda, yakni sekaligus sebagai petugas keamanan non formal. Itu juga yang dialami Andi dan kawan-kawan di kawasan Tanjungunggat.
Para konsumen yang datang relatif beragam. Dari pandangan para tukang ojek memang tidak terlalu nyata darimana latar belakangnya. Namun data dari Yayasan Bentan Serumpun (YBS) dan Dinas Kesehatan kota Tanjungpinang menyebutkan ragam mereka mulai dari TNI/POLRI, PNS, pengusaha, mahasiswa bahkan sampai pelajar.
Ia mengaku selain mengamati, jika ia mengantar WPS tersebut ke tempat pelanggan jasa atau ongkos ojeknya bisa meningkat berlipat. Selain ongkos biasanya WPS juga memberi uang tips cukup besar juga. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (4)

unc
by noenx's
HAL senada juga diiyakan beberapa teman dalam satu kelompok. Dwi Andrianto, Dani dan Paulus Pora, tiga tukang ojek yang satu tempat mangkal dengan Madi, mengungkapkan, setiap WPS yang diantar biasanya memang memberi tips yang lumayan. “Apalagi kalau tamunya memberi lebih dan pelayanannya cuma memakan waktu sebentar, alamat kita pasti dapat tips banyak,” ujar Dani, mewakili teman-temannya.
Saat ditanya tentang kemungkinan justru dirinya dan teman-teman menjadi penghubung antara WPS dan konsumen, Madi dan Andi menampik istilah tersebut. Keduanya mengaku mereka (WPS-red) biasanya sudah mempunyai channel sendiri-sendiri, otomatis karena sering diantar tentu tahu siapa dan dimana tempat biasanya mereka melayani, baik yang WPS lokalisasi ataupun yang free alias panggilan bebas.
“Mereka pun tetap enjoy meski kita tahu karena mereka sudah biasa, paling mereka memberi kita uang tip atau bayaran ongkos ojek lebih dari penumpang biasa. Kita tidak berani mengusik mereka, karena itulah sekaligus ladang nafkah kita,” ujar Madi, yang tidak jauh berbeda pendapatnya dengan Andi.
Lalu bagaimana sebenarnya interaksi antara Madi dan Andi beserta teman-temannya dengan WPS secara keseluruhan? Secara gamblang Madi menuturkan kalau mereka menganut sistem simbiosis mutualisme. Artinya tidak hanya memanfaatkan para WPS sebagai penumpang saja, namun lebih dari itu terkadang juga berbincang dan mendengarkan curhat dari mereka kalangan WPS.
“Dan bagi saya dan teman-teman saat-saat itu justru saat yang tepat untuk mencoba memasukkan nilai-nilai kesehatan, biarpun kita tidak memaksa mereka untuk keluar dari pekerjaan yang dianggap masyarakat sangat nista menjual diri,” ujar Madi.
“Hampir tiap malam saya selalu ngobrol dengan mereka, bisa dengan orang yang sama bisa juga dengan WPS yang berbeda. Soal waktu tidak tentu, kadang kalau si WPS-nya lagi sepi booking atau sehabis melayani tamu. Lain kali kalau minta diantar untuk belanja, nah di saat itulah banyak waktu yang kita biasanya ngobrol panjang lebar dengan berbagai topik,” imbuh Madi.
Langkah yang sama juga dilakukan Andri, Dani dan Paulus. Bersama rekan-rekannya yang lain, mereka memang selalu memanfaatkan waktu luang untuk berbincang-bincang ringan dengan para WPS. Mulai dari hal-hal yang lucu, mereka kemudian masuk ke sisi kesehatan.
“Istilahnya kita masuk nyerempet dulu, dan itu ternyata menjadi langkah cukup efektif untuk kita pancing mereka dan kita secara perlahan-lahan masuk ke obrolan kesehatannya, langkah ini memang harus dilakukan karena inilah satu-satunya cara untuk menggapai mereka,” terang Andri.
Begitupun dengan Andi dan kawan-kawan. Mereka memang cenderung untuk seolah bekerja sama, satu sisi demi pendapatan satu sisi lain juga pertemanan yang kental. Hal itu bsia dibuktikan dengan seringnya mereka dalam berinteraksi dan bertemu tatap muka. Apalagi dengan diselingi obrolan yang bisa menjurus pada cerita pribadi.
Mengerucut pada permasalahan WPS-ODHA, Madi dan Andi mengaku tidak terlalu banyak tahu tentang detail. Namun Madi berujar dirinya mengenal dan ada WPS yang berstatus terkena HIV. “Ada, dan itu justru yang paling dekat dengan saya. Kalau dengan saya dia biasanya sangat terbuka. Dia bahkan bercerita pengalaman seks-nya saat pertama kali, sampai tiba-tiba saja ia divonis terkena virus mematikan itu. Saya tidak takut sepanjang kita bisa membawa dan menjaga diri, semuanya pasti berjalan lancar. Pokoknya percaya saja dengan diri kita,” cerita Madi.
Andri, Dani, Paulus dan Andi-pun setali tiga uang. Interaksi antara dirinya dengan WPS-ODHA berlangsung seperti biasa, sama halnya dengan konsumen yang memanfaatkan jasanya menjadi seorang tukang ojek.
Mengenai usaha untuk menginduksi pemikiran WPS-ODHA tersebut tentang bahaya yang bisa terjangkit jika ia melakukan hubungan seksual dengan penggunanya, Madi mengaku sudah berusaha setiap saat untuk selalu memberitahu. Begitupun Andi yang mengajak teman-temannya untuk selalu aktif dalam menyerukan bahayanya pelayanan WPS-ODHA, tentu dengan bahasa yang halus.
“Nah itulah yang terkadang saya masih susah bilang ke dia. Dia kan terkena virus, otomatis saat di bersenggama virus itu menyebar dan menular ke orang lain, namun dia masih tetap tidak mau melepas statusnya sebagai WPS.
Jadi saya juga sering mengantarkannya ke tempat dia biasa dipesan konsumen. Cuma saya tetap tidak bosan-bosannya untuk menasehati di agar berhenti dari pekerjaanya, namun sampai sekarang belum juga berhasil,” jelas Madi.
Andi menyebut dirinya sangat jarang diberitahu apa saja yang dikerjakan WPS-ODHA tersebut saat melayani nafsu syahwat lelaki hidung belang. “Waduh...kalau itu saya kurang tahu pastinya, namun dia terkadang cerita kalau perlakuannya sama saja dengan yang lain. Sebagian besar dia bercerita tentang oral seks saja,” ujar Andi. (persda network/nurfahmi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (5)

by noenx's
SEMENTARA itu Madi mengaku daerah kerjanya sebagai tukang ojek bersama teman-temannya di kawasan Batu 15 Kota Tanjungpinang dikenal sebagai daerah teratur. Artinya segala sesuatunya yang menyangkut ke-WPS-an selalu berjalan baik. Begitupun yang terjadi di wilayah “kerja” Andi di kawasan Tanjungunggat, sudah terkenal dengan kebersihan dan keteraturannya dalam operasional pelayanan seks tersebut.
Madi mengungkapkan kawasan Batu 15 memang teratur, terutama jika dibandingkan dengan lokalisasi lainnya di kota Tanjungpinang ini. Selain penghuninya yang bisa diatur dan sangat guyub, keteraturan juga bisa dilihat dari sisi penjagaan kesehatannya. Bisa dibilang di sini faktor kesehatan sangat dipentingkan.
Di wilayah ini sudah ada slogan tamu harus membawa dan memakai kondom saat berhubungan intim dengan WPS. Para WPS juga diberikan aturan yang sama, yakni harus membawa kondom dan wajib memperingatkan pada konsumennya untuk tidak lupa menyiapkan kondom..
Jika belum punya atau belum membawa selalu dipersilahkan untuk membeli terlebih dulu. Selain itu di daerah ini juga terdapat klinik kesehatan reproduksi yang memberi kesempatan kepada seluruh penghuni untuk memeriksakan diri mereka. Biasanya mereka mengadakan pemeriksaan dua minggu sekali. “Di semua sudut lokalisasi ini keadaannya hampir semuanya seperti itu setiap harinya, jadi saya bisa menjamin jika keadaan dan prioritas terhadap kesehatan sangat diutamakan,” sebut Madi.
Sementara itu, meski di sekitar kawasan Tanjungunggat tidak terdapat unit pemeriksa, namun tetap saja semua penghuni yang biasanya berada di sekitar kawasan tersebut harus memeriksakan diri mereka. Paling tidak di sekitar klinik VCT di Puskesmas Pancur kota Tanjungpinang yang hanya berjarak tiga kilometer dari lokasi mereka.
Mengenai fungsi anggota tukang ojek lainnya, Madi dan Andi mengaku semua anggota justru berkewajiban untuk mengingatkan penghuni, biasanya memang seperti itu. Apalagi yang selalu mengikuti beragam training tentang kesehatan di lingkungan WPS, baik itu bagaimana cara berinteraksi sampai dengan detail penjagaan terhadap kemungkinan terkena penyakit.
Lalu apa yang dilakukan saat pertama kali pelanggan atau pengguna akan memasuki kawasan lokalisasi?Madi menuturkan ternyata sangat simpel. Pertanyaan yang biasa diajukan adalah Anda membawa kondom dan apakah Anda benar-benar sehat. “Setelah itu jika saya ragu saya selalu memberi nasehat yang intinya janganlah Anda menyebar sesuatu yang bisa merusak kesehatan jika memang Anda memilikinya,” imbuh Madi.
Meski tidak serumit Madi, namun tetap saja aturan baku dilakukan dan diberikan di kawasan Andi dan tempat mangkal ojeknya. Tidak sembarang orang bisa masuk ke area kos para WPS, pasalnya biasanya Andi justru menyarankan untuk tidak melakukan apapun di lingkungan dan harus keluar dari kawasan tesebut.
Beberapa tindakan yang langsung dilakukan para tukang ojek dalam menghadapi dan menjaga lingkungan mereka adalah dengan menggunakan kata-kata, selain itu juga menempelkan poster-poster yang berisi tentang HIV/AIDS dan cara menjaga kesehatan alat reproduksi agar terhindar dari penyakit yang membahayakan, bukan hanya HIV dan AIDS tapi juga siphilis dan gonorrhae.
“Yup, kita juga merasa bertanggung jawab jadi kita laksanakan bersama-sama dan dilakukan secara konsisten,” tegas Andi yang disetujui Madi. Begitupun dengan teman-teman mereka.
Bagi Dani, Paulus dan Andri, apa yang mereka lakukan tentu akan memberi manfaat di kemudian hari, meski pada awalnya harus tertatih-tatih. Namun berkat kerja tim dan rasa tidak pernah menyerah dengan keadaan, pelan namun pasti usaha mereka mulai menampakkan hasil yang sangat positif, bukan hanya untuk kesehatan mereka namun juga citra terhadap kota mereka sendiri.
Mengenai dampak negatif dari aturan tersebut, Madi dan Andi menyebut setiap aturan pasti ada dampak negatifnya, minimal sekali adalah rasa dongkol bagi yang terbiasa melanggar dan menganggap remeh. Namun lama kelamaan semuanya berjalan normal dan mampu menciptakan secara bersama-sama sebuah lingkungan yang sehat meski berada di tempat lokalisasi. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (6)

by noenx's
MENGENAI pembiayaan untuk operasional mereka dalam hal di atas, Madi mencontohkan dia dan teman-temannya memang telah mengalokasikan secuil dana untuk kerja mereka, terutama menyediakan poster-poster sosialisasi.
“Kita menyisihkan sebagian pendapatan kita tiap minggu, namun tidak ada paksaan, toh poster-poster itu kan tidak seberapa modalnya, kebetulan kita juga punya teman yang membua poster, tentu kita dapat harganya miring,” ujar Madi, yang menyebut dalam sebulan uang yang terkumpul bisa mencapai Rp 500 ribu.
“Gak masalah tuh dengan langkah itu karena pada dasarnya yang terpenting bagi kita adalah tujuan yang akan kita sampaikan, semuanya demi kemaslahatan masyarakat, tidak hanya kita. Jadi tidak ada masalah kehilangan sedikit harta, daripada nanti terjadi sesuatu yang merugikan kita semua,” terang Paulus, yang mengaku minimal ia memberi iuran berupa materi sebesar Rp 100 ribu.
Saat ditanya bagaimana jika justru ditinggalkan penumpang yang mau masuk ke kawasan, Madi dengan gamblang mengatakan, ”Jelas kita tidak takut karena itulah aturannya di sini dan setiap tamu harus mematuhi apa yang sudah digariskan di wilayah ini. Jika mereka enggan atau bahkan melanggar, silahkan meninggalkan tempat ini. Tentang pelanggan kan berhubungan dengan rejeki, dan kita yakin yang di-Atas pasti sudah menentukan rejekinya, jadi kita tidak perlu takut, apalagi itu demi keselamatan atau kesehatan kita semua. Apa jadinya jika satu saja WPS terkena penyakit mengerikan, tentu semuanya bakal riskan terkena,” ungkap Madi panjang lebar.
Terkait pengetahuan tentang HIV dan AIDS, Madi dan Andi mengaku mendapatkan penjelasan singkat maupun detail dari beberapa pelatihan yang diikutinya. “Saya tahu dari beberapa pelatihan yang ikuti bersama teman-teman tukang ojek se-kota Tanjungpipinang,” kata Madi.
“Biasanya memang berkala. Saya pernah ikut pelatihan tiga hari bersama Yayasan Bentan Serumpun (YBS). Di situ saya diberi kuesioner terlebih dahulu, baru materi oleh beberapa orang diberi materi tertulis sampai di akhir kegiatan diberi tes lagi,” imbuh laki-laki yang sehari-harinya selalu menyempatkan diri untuk berdialog dengan keluarga tentang fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
Sedang Andi mengaku sangat senang dengan pelatihan yang ia dapatkan tentang HIV dan AIDS oleh yayasan. Ilmu dan pengetahuan, meski terbatas, tetap bisa diaplikasikan ke tengah masyarakat meski hanya dari mulut-mulut.
“Jelas senang, apalagi tidak hanya di tempat mangkal saja, namun akhirnya kita terdorong untuk menyampaikannya di lingkungan saya, dan saya juga mengatakan kepada teman-teman sesama pengojek untuk menyebarluaskan hal yang sama,” jelas Andi, yang sependapat dengan Madi.
Nada setuju juga dinyatakan Hamta, teman mangkal Andi. Ia yang mengikuti kegiatan pelatihan gelombang pertama di YBS bersama Andi mengaku mendapat banyak sekali manfaat dari materi yang ia peroleh. Selain kesehatan secara umum, ia juga bisa merasakan betapa banyak hal yang bisa ia petik dari dunia yang selama ini dekat dengan profesinya.
Betapa tidak, ia kini bisa mengaplikasikan apa yang telah didapatnya di pelatihan ke dunia nyata, yakni para WPS, agar bersikap hati-hati. Tidak itu saja, ia juga bisa bercerita kepada lingkungan sosial sesungguhnya saat ia berinteraksi. Satu lagi yang ia rasakan adalah kebanggan yang menyelinap di dalam dirinya jika ternyata ia bisa juga memberi sesuatu kepada orang lain. “Ya itu tadi, apalagi terkait HIV/AIDS,” imbuh bapak satu anak ini.
Mengenai hasil pelatihan dikonversikan pada tingkat keberhasilan di kawasan lokalisasi, Madi, Andi,. Lukas, Andri, Dani sampai Hamata menyebut karena maksud yang baik semuanya pun menerima, terutama para WPS. “Lain soal jika ternyata mereka menolak mentah-mentah, nah itu baru masalah besar. Namun sejauh ini tidak ada masalah meski tetap untuk yang pertama jelas ada kesulitan,” ujar Madi.
Ia menjelaskan kesulitan yang dirasakan bersama teman-temannya adalah saat pertama kali menjelaskan tentang maksud dan tujuan, belum termasuk pengusulan penggunaan piranti khusus. Pertentangan sempat dirasakan, terutama terhadap pihak-pihak yang sudah terbiasa tanpa aturan, apalagi yang berhubungan dengan kesehatan seksual.
Namun setelah dilakukan pendekatan secara persuasif, terus menerus dan kekeluargaan akhirnya ada kesadaran untuk mengetahui lebih lanjut. Sementara kesulitan lain pertama kali timbul khusus untuk penerimaan WPS adalah saat memperkenalkan penggunaan kondom sebagai tindakan preventif terhadap timbulnya penyakit seksual. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (7)

by noenx's
”PERTAMA kali mereka menolak karena merasa tidak ada masalah saat melayani tamu tanpa kondom, namun kita selalu menjelaskan secara nyata dan kontinyu, sehingga lambat laun mereka sadar betapa pentingnya pemakaian pengaman saat berhubungan seks,” ujar Madi.
Tidak jauh berbeda, Andi mengaku tidak terlalu bermasalah untuk menyebarkan bahaya HIV dan AIDS, bahkan kini ia bersama teman-temannya membuat tempelan-tempelan dan sebaran-sebaran tentang HIV dan AIDS.
Semua piranti yang digunakan tersebut ia dapatkan dari hasil jerih payahnya bersama teman. Tentang materi tempelan atapun selebaran, Andi selalu mendapatkannya dari LSM, baik itu dari LSM YBS ataupun Yayasan AIDS Kota Tanjungpinang.
Selain di lokalisasi, Madi dan teman-temannya juga selalu memberi pengarahan terhadap penumpang setiap harinya, terutama yang berprofesi WPS atau pengguna.
“Setiap saya memboncengkan wanita malam yang berprofesi sebagai WPS saya selalu mengajak ngobrol sedikit demi sedikit dengan mereka. Setelah agak mencair suasananya biasanya saya baru masukkan pengertian tentang penyakit tersebut sekaligus bagaimana simpelnya mencegah tertular dan terjadinya virus tersebut ke tubuh manusia,” tegas Madi.
Efeknya langsung terasa, meski harus tetap pelan-pelan. “Jika sudah seperti itu biasanya sebelum saya antar dia ke tempat yang dituju baik itu rumah kos ataupun hotel, KTV dan tempat hiburan serta tempat prostitusi lainnya saya sarankan dia membawa alat pengaman, jika belum bawa, biasanya saya sarankan pakai kondom saja, sekaligus memberitahu kalau tamunya tidak makai kondom jangan mau karena bahayanya itu tadi,” jelas Madi.
Saat ditanya tentang penumpangnya yang WPS-ODHA, Andi menyebut tetap saja pihaknya terus memberi pengertian dan pemberitahuan jika apa yang dilakukan sangat merugikan orang lain, tentu dengan bahasa yang halus dan tidak menyinggung. Penekanannya lebih dalam terutama menyangkut bahaya penularan penyakit.
Mengenai kesuksesan menjalankan keteraturan di sekitar kawasan Batu 15, Madi mengaku bakal terus berjuang untuk semakin menertibkan dan menyehatkan lingkungan. Begitupun Andi, dengan pengalaman dan pengetahuan yang diberikan selama pelatihan HIV/AIDS, ia bakal berusaha semakin sering berkomunikasi dengan warga, karena ternyata hasilnya sangat memuaskan.
“Jelas masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Memang sekarang sepertinya teratur tapi memang setiap orang kan tidak bisa dipastikan apa maunya. Mungkin saja karena merasa terdesak, meski tamunya sudah membeli kondom (meski mungkin terpaksa), ia mau saja melayani dengan ‘langsung’ tanpa penghalang apapun, dan mungkin saja ‘keluarnya’ di dalam karena tanggung alias kepalang tanggung. Nah itu yang terkadang tetap kita pikirkan,” jelas Madi.
Solusi awalnya Madi dan Andi seolah sangat kompak. “Kita tentu tidak bisa mengurusi privasi orang lain, tapi kita usahakan kita bisa tahu dan tanyakan kepada si WPS apakah saat melayani tamu menggunakan kondom atau tidak. Namun sekali lagi variable itu memang tidak terlalu meyakinkan, tapi kita bisa lihat hasilnya dari pemeriksaan kesehatan yang rutin dilakukan setiap dua minggu di klinik. Atau kalau tidak, jika si WPS sudah kita kenal baik kita pasti memperhatikan apakah ada sampah kondom atau tidak setelah mereka berhubungan,” ujar keduanya.
Jika ada gejala WPS tersebut tidak menggunakan kondom, tindakan yang dilakukan adalah menegurnya. “Karena bagaimanapun semua itu demi kesehatan seluruh penghuni, jangan gara-gara satu orang semuanya terkena. Karena yang saya tahu prinsip penyebaran HIV tergolong cepat, apalagi bisa saja tamu yang sama datang di malam berikutnya tapi beda WPS, itu yang sangat riskan bukan, beda dengan yang langganan,” tutur Madi.
Lalu bagaimana sikap para tukang ojek yang berada di luar sistem koordinasi kelompok alias yang bebas secara individu?Ternyata dari perbincangan dengan beberapa tukang ojek tersirat niatan mereka untuk meniru apa yang telah dilakukan rekan-rekannya yang tergabung dalam suatu kelompok atau tempat mangkal.
Satrio contohnya. Bapak tiga orang anak ini mengaku sebenarnya ia sering juga mengantar WPS ke sebuah tempat, namun tidak dalam bentuk langganan penumpang, karena memang dirinya selalu bergerak mencari penumpang baik di pasar, saat pergi-pulang anak-anak sekolah, pegawai pulang sampai malam harinya serabutan mencari penumpang.
“Asyik juga sih sebenarnya mengikuti pelatihan dan berkegiatan seperti yang diceritakan apalagi ini menyangkut HIV/AIDS, sesuatu yang selama ini belum saya ketahui, tapi ternyata belum bisa,” ujarnya. (persda network/nurfahmi budi)

Peran Tukang Ojek dalam Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS (8-habis))

by noenx's
KEINGINAN yang sama juga dirasakan Sasmito. Ia juga berkeinginan untuk menerima dan mengikuti materi tentang HIV/AIDS tersebut meski sampai saat ini belum pernah mendengar kabar tersebut.
Tentang teman-teman seprofesinya yang mengadakan kegiatan sosialisasi, Sasmito memberikan apresiasi positif tersendiri. “Ternyata tukang ojek sendiri bisa melakukannya, masa pihak yang lebih besar lagi tidak punya keinginan tersebut,” kata Sasmito, yang sangat berkeinginan untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Begitulah sistem kinerja para tukang ojek di kota Tanjungpinang dalam usahanya membantu pemerintah dalam mencegah semakin berkembang dan menyebarnya virus HIV dan AIDS.
Apa yang dilakukan mereka seharusnya mampu memberi inspirasi dan motivasi terhadap pihak-pihak tertentu jika digarap dengan sungguh-sungguh ternyata mata pencaharian yang sebenarnya tidak menjanjikan justru bisa menjadi jembatan sempurna menuju kehidupan yang lebih baik dan sehat.
Sayangnya sampai saat ini Dinas Kesehatan (dinkes) kota Tanjungpinang seolah tidak peduli terhadap program untuk lebih memperhatikan masalah persebaran virus HIV, terutama bagi para WPS-ODHA, yang saat ini sepertinya masih bisa bebas berkeliaran.
Dr Eka Hanasarianto, Kadinkes Kota Tanjungpinang menuturkan saat ini pihaknya memang belum gencar untuk menyisir satu per satu lokalisasi atau tempat yang diduga sebagai tempat mangkal para WPS. “Kita masih sangat kekurangan tenaga lapangan untuk sekedar mensosialisasikan ataupun menyisir guna mencatat beberapa item terkait AIDS,” ujarnya. (persda network/nurfahmi budi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (1)

by noenx's
JARUM jam sisi panjang menunjuk angka 12, sedangkan jarum yang lebih pendek tepat di posisi angka 4. Matahari-pun masih cukup terang menyinari setiap permukaan bumi di kota Tanjungpinang, khususnya di sekitar kawasan lokalisasi Batu 15.
Gardu depan sebagai pintu gerbang selalu tampak sibuk. Obrolan dan cengkrama tukang ojek berbaur dengan senyuman dan celotehan pengunjung warung makanan dan kedai kopi, yang setiap harinya selalu ramai dikunjungi.
Beberapa Wanita Pekerja Seks (WPS) juga mulai menampakkan diri meski hanya sebagian saja yang tampak sudah bersiap untuk “bekerja”. Mereka selalu berbaur dengan lingkungan sekitar, terutama dengan kalangan tukang ojek. Kedekatan mereka sangat tampak dari cara berbicara dan berprilaku, seolah mereka menasbihkan sebagai sebuah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan meski terkadang sisi negatif lebih dicondongkan ke tukang ojek.
Di bagian dalam kompleks, kesibukan beraktifitas juga sudah mulai terlihat sore itu. Ditemani semburat kuning matahari, beberapa WPS tampak sudah mulai menata diri dengan bersolek bersama-sama dalam satu rumah. Kompleks Batu 15 ini memang terdiri dari ratusan rumah di lahan seluas sekitar 3 hektar tersebut.
Setiap rumah biasanya diisi 3-5 WPS yang “berdinas” bersama-sama dalam melayani tamu. Namun memang tidak selamanya mereka melayani tamu di dalam rumah tersebut, terkadang ada pula yang menerima panggilan dan melayani tamunya di luar kompleks, seperti harus pergi ke kota Tanjungpinang untuk bertemu klien di hotel ataupun di rumah kos khusus.
Begitupun yang dilakukan Euis Riana yang terkenal dengan panggilan Misye dan Nurlita yang biasa disapa Ayu oleh kawan-kawannya sekompleks. Seperti halnya yang lain, seolah sudah menjadi awalan yang wajib dilakukan, mereka berdua setiap sorenya selalu bersolek dan menyiapkan diri untuk melayani para lelaki hidung belang guna memuaskan hawa nafsunya dengan berhubungan seks.
Setelah diawali dengan mandi, beragam produk kecantikan telah siap menantin mereka sebagai langkah wajib yang harus dilakukan. Produk seperti lotion, lipstik, eyes shadow sampai parfum selalu berada tidak jauh dari tubuh mereka.
Tak berapa lama dandanan mereka langsung berpadu dengan aroma wangi semerbak dari tubuh mereka, meski terkadang justru beraroma menyesakkan bagi siapa saja yang tidak suka dengan aroma parfum.
Setelah itu, sembari menunggu lelaki hidung belang yang menginginkan jasa kenikmatannya, Riana dan Nurlita bersama satu teman lainnya bercengkrama dan bergosip kesana kemari tak jelas juntrungannya. Biasanya mereka lakukan itu sampai menjelang pukul 20.00 WIB.
Selepas itu bisa dipastikan “orderan” tinggal tunggu waktu saja. Jika ada satu teman yang sudah mendapat konsumen, teman lainnya segera melepas dan biasanya langsung menghentikan pembicaraan, berubah menjadi pasang aksi guna menarik perhatian lelaki hidung belang yang lewat di depan rumah tinggal.
Selain rayuan kata-kata, Nurlita dan Riana juga menunjukkan kelebihannya dalam hal kondisi tubuh. Umur mereka yang relatif tidak terlalu tua, Nurlita (28) dan Riana (30), memang masih bisa langsung meningkatkan adrenalin laki-laki pencari pemuasan hawa syahwat mereka. Tak sampai tengah malam, biasanya kedua WPS ini sudah mendapat konsumen masing-masing. (persda network/nurfahmi budi)

Teman Baik, tak Selalu Bicara Uang (2)

by noenx's
ITULAH yang selalu rutin dilakukan Nurlita dan Riana setiap harinya. Itupula yang juga dikerjakan oleh hampir seluruh penghuni lokalisasi Batu 15, lokasi yang sebenarnya terletak jauh dari jalan utama, namun justru menjadi kompleks ramai dan terbilang bersih dan teratur.
Bagi Riana, kondisi sekarang yang harus dijalani sebagai seorang WPS tentu tidak menjadi tujuan utama yang dulu sempat dibayangkannya. Meski sempat terlintas untuk menjadi seorang TKI, namun jalan hidup membawanya kepada pekerjaan yang berada di luar perkiraannya.
Menjadi WPS, bagi Riana adalah keterpaksaan. Ia harus menanggung akibat sebagai korban penipuan yang dilakukan temannya sendiri. Wanita asal Tasikmalaya Jawa Barat ini harus terjun ke dunia WPS setelah keperawanannya direnggut seorang Apek asal Singapura. Meski sangat sakit, namun justru uang yang menjadi daya tarik seorang Riana.
Setelah peristiwa tersebut, ia langsung berpikir untuk terjun saja langsung karena sudah kepalang basah. “Akhirnya memang aku harus terjun ke dunia ini dan sampai di Batu 15 ini, perasaan tetap pengen keluar, tapi tetap saja belum bisa kulakukan,” ujarnya, saat bercerita seluk beluk kehidupannya hingga ia seolah terdampar di kota Gurindam ini dan menjadi WPS sejak tahun 2001.
Sementara Nurlita cenderung terseret sebagai pelayan nafsu laki-laki ini disebabkan desakan kebutuhan ekonomi saat hidup di Batam. Karena merasa mudah memperoleh uang dengan kenikmatan, Nurlita mengaku mau tidak mau terjun sebagai WPS dan juga wanita panggilan.
Mengenai interaksi dengan tukang ojek, Nurlita dan Riana menjelaskan hampir semua teman-teman seprofesinya sangat dekat dan membutuhkan kehadiran dan jasa seorang tukang ojek.
Tidak hanya sebagai pengantar ke tamu di luar atau berbelanja kebutuhan sehari-hari ke kota, lebih dari itu ternyata tukang ojek bisa sebagai tempat curhat jika menghadapi masalah yang cukup pelik menyangkut kehidupan seperti kangen dengan keluarga di kampung halaman sampai masalah kekurangan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Riana menganggap mereka ada orang-orang yang spesial dan multifungsi. Mereka bisa menjadi teman yang sangat dekat, teman curhat, teman bermain dan bercanda meski terkadang tetap saja ada tukang ojek yang usil dan menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai.
“Tapi yang jelas, mereka (tukang ojek-red) adalah teman baik yang tidak selalu berbicara tentang uang, itulah yang membuat kita bisa dekat dengan mereka dalam keseharian,” tutur Riana, sembari membetulkan letak tanktop merah mudanya yang agak bergeser ke samping kanan. (persda network/nurfahmi)