Kamis, Oktober 30, 2008

Media di Bangka Belitung (Sudah) Banci?

Pepi 25 tahun, Senin malam,27 Oktober 2008, tak menyangka akibat menyapa seorang anggota brimob teman Robin tetangga kosnya, membuat si anggota brimob tersinggung dan menantang Pepi duel. Lalau terjadilah perang mulut lalau terjadilah perkelahian. Tak berhenti disampai di sana. Setelah dilerai warga, dan merasa tak puas oknum brimob tersebut, lalu menagajak 30 orang temannya sesama anggota brimob menghajar Pepi hingga babak belur. Setelah puas dan mengancam jangan sampai Pepi melaporkan kejadian ini kepihak atasan mereka, 30 orang oknum tersebut meninggalkan Pepi dalam keadaan babak belur.
Hingga saat ini tak ada satu pun media harian di Bangka Belitung yang menurunkan laporannya. Bahkan menurut keterangan keluarga korban, sudah beberap kali ia mendatangi kantor redaksi beberap media lokal tersebut untuk meminta agar persoalan yang menimpa korban dieksposTapi selalu saja, pihak media beralasan kalau diberitakan mereka takut keselamatan korban tak terjamin. Dan bukan hanya itu, pihak media pun menurut keterangan kelurag korban tersbut takut kalu mereka menjadi sasaran amuk anggota birmob tersebut. Padahal, sehari setelah kejadian banyak media baik cetak maupun elektronik (Nasional) yang mewanwacai korban di RSBT (Rumah Sakit Bakti Timah), Ruang Rajawali isolasi 3. Kini Pepi masih terbaring di rumah sakit. Untuk berbicara pun ia kesulitan. Selain hampir sekujur tubuhnya babak belur. Secara
psikologis ia pun tertekan. Media yang diharapkan dapat membantu dia mendapatkan keadilan, tak meberikan respon. Kini keluarga korban hanya berharap adanya keadilan atas peristiwa
yang menimpa korban. Menurut Pepi ia hanya menyapa tamu tetangganya tersebut. Tapi yang disapa salah sangka, dikiranya menantang

Sudah lama rasanya tidak menulis tentang di luar topik ekonomi dan olahraga. Ini membuat saya seolah-olah terpisah dari dunia yang sebenarnya. Ini juga membuat tinitan hati terasa beku dan terutup dengan dunia luar. Tirani yang seolah erat menjerat membuat saya memang nyaris tak punya sekedar waktu untuk ngobrol dengan diri saya sendiri. Sebuah keheranan mungkin, tapi itulah yang terjadi. Sampai sebuah email dari teman langsung membidik ujung hati saya, dan nyaris membuat saya tak percaya, karena di TKP banyak sekali teman saya yang notabene masih satu grup dengan saya. Sebuah pencorengan idealisme yang hanya berkutat pada materi membuat hati saya tak tenang. Sama seperti saya di Batam, ulah para oknum wartawan membuat saya agak terpinggirkan di tengah moralitas dan idealisme mereka sungguh dipertanyakan. Mereka berlabel PWI Reformasi dan AJI, namun sikap dan prilaku mereka masih menunjukkan lembaga pers yang sangat amat primitif. Norma munafik pun masih melekat pada diri mereka. Amplop, minta jatah uang sampai hanya bermanis di depan para pejabat hanya untuk memeroleh segelintir proyek fiktif menjadikan saya terasa muak. Mau kemana dan diapain, jelas saya pun bingung karena mereka semua teman-teman saya, teman ngobrol, teman ngopi smapai teman main Playstation, tentu di luar kedinasan kita sebagai seorang pemburu berita.
Na, kini persaan dan peristiwa serupa tengah terjadi di Bangka Belitung. Email teman saya menyebutkan kalau sikap dan prilaku teman-teman media di sana sudah sangat keterlaluan. Mereka seolah sudah dikebiri oleh kekuasaan, bahkan sudah beralih menjadi banci. Sebuah pernyataan yang masih bisa digugat, karena belum tentu selama ini lembaga atau institusi pers di sana baik itu koran, majalah ataupun lembaga profesi, sudah benar-benar menjadi pria sejati. kalau belum menjadi pria sejati, berarti bukan menjadi banci dong sekarang. lalu apa?mungkin lebih tepat dikaruniai 'gelar' pengecut!.
Terasa keras?tidak juga, karena pasti lebih terasa menyedihkan bagi sosok korban. Lalu dimana peran teman-teman yang menyatakan diri mereka idealis?. Nyaris tak ada yang bisa menjawab, karena memang alasan mereka tetap saja klise: keselamatan kantor dan keselamatan wartawan itu sendiri. Sungguh memuakkan padahal jelas-jelas sudah ada aturan perundangan yang menyelaraskan semua itu. Bodoh, dungu atau memang pura-pura tak mengerti?kalau memang itu yang terjadi, berarti sistem sumber daya manusi di tempat mereka bekerja benar-benar parah, bahkan sangat parah.
Ketakutan melawan tindakan represif aparat jelas bukan menjadi alasan utama yang harus dikedepankan. Kawan, saat memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik, jelas analisa pertama yang keluar adalah resiko yang harus ditanggung tatkala berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Tak habis pikir buat saya jika teman-teman di Bangka Belitung tak bisa bergerak. Maslaah utama bukan ekses dari pemberitaan itu, tapi hak dari masyarakat dan konsumenlah yang seharusnya mereka pertimbangkan. Bahkan kalau masyarakat dan konsumen bisa jeli, mereka pun bisa menuntut kalangan pekerja pers di sana, kenapa berita penting seperti itu tak keluar?, mungkin iklim kapitalis benar-benar sudah merangsek ke setiap duri hati mereka.
'Kembali ke topik awal. Tindakan represif aparat memang sangat disayangkan. Analisanya sederhana, kenapa mereka bisa bertindak seperti itu terhadap rakyat biasa yang notabene adalah pembayar gaji aparat pemerintah?seharusnya justru dialah yang harus mengayomi bukan lantas menganiaya seenaknya sendiri, apalagi sampai membawa satu pleton seperti itu. Sungguh memalukan dan tentunya ini makin menunjukkan kalau pendidikan di tingkat aparat pemerintah benar-benar bobrok!!!. lalu kemana dana triliunan rupiah yang dialokasikan untuk mendidik moral aparat bangsa itu?sepertinya pertanyaan seperti itu masuk dalam jajaran retorika belaka.
Kenapa mesti takut melawan aparat?apakah karena mereka banyak kawan, atau karena mereka selalu menenteng senjata, atau karena mereka memiliki atasa yang siap setiap saat untuk menjebloskan kita ke penjara?sungguh menyesakkan jika alasan seperti menjadi garda depan untuk mengingkari sumpah menjadi pewarta.
Sungguh aneh....benarkah teman-teman di daerah sudah seperti orang banci?hanya mereka sendiri yang tahu dan bisa merasakannya....

Tidak ada komentar: